Tuesday, September 7, 2010

Ketika Tentara Menertawakan Aksi Densus 88 Menangkap Teroris

  • image


  • Jakarta - Dalam sebuah perjalanan kereta api dari Jawa Timur menuju Jakarta, belum lama ini, seorang pemuda berusia 20-an tahun berkisah kepada primaironline.com tentang pekerjaannya sebagai tentara.

    Roni, sebut saja begitu, berasal dari Palembang, Sumatera Selatan. Pangkatnya kopral, jebolan sekolah Tamtama tahun 2004. Sejak kecil ia bercita-cita menjadi tentara. Kini ia menjadi tentara, pekerjaan yang dia inginkan. Tapi dia gelisah. Gelisah setelah enam tahun menjadi bagian dari TNI.

    Ia mengawali ceritanya begini. "Saya belum pernah perang. Cuma latihan nembak dan lari-lari tiap hari."

    Bak peluru muntah, ia pun melanjutkan cerita. Katanya, menjadi tentara saat ini sangat jauh dari bayangannya sewaktu kecil. Komentarnya menarik. Enam tahun hidup terus di barak membuatnya jenuh. Mulailah ia membanding-bandingkan pekerjaan tentara dengan polisi, yang menurutnya, lebih berlimpah materi. "Sekarang semua tugas pengamanan regional disikat habis sama polisi. Kita ini gak kebagian, gak jelas kerjaannya," ujar pria yang baru saja masuk pelaminan itu.

    Melambungnya nama polisi karena sejumlah aksi menangkap teroris pun tak luput dari pikirannya. Menurutnya, aksi 'heroik' polisi memburu teroris yang diliput habis-habisan oleh media massa, telah menjadi perbincangan hangat di antara prajurit korps loreng. Apa yang diperbincangkan?

    "Polisi itu sekarang banyak duit. Cepat naik pangkat. Pulang dari tugas pasti beli motor baru. Tentara cuma bisa lihat saja," ujarnya. Ia juga mengaku sering merasa iri dengan para senior di TNI yang cepat naik pangkat lantaran banyak dikirim ke medan tempur.

    Kalau melihat aksi polisi memburu teroris, ia pun geram. Salah satu yang ia ceritakan adalah saat Detasemen Khusus Antiteror 88 Polri menggempur sebuah rumah di Temanggung, Jawa Tengah, yang akhirnya membuahkan ajal Ibrohim, penata bunga yang disangka teroris.

    "Kami hanya tertawa lihat kerja polisi. Peluru yang dipakai polisi di Temanggung itu bisa untuk latihan kami satu minggu. Di tentara itu, satu peluru satu nyawa," ujarnya.

    Hasratnya untuk berperang pun meluap, manakala ia melihat polisi bekerja. "Saya ini tiap hari diajari membunuh. Tapi buat apa kalau tidak dipakai," ujarnya.

    Di sisi lain, Roni mengungkapkan, kalau pun ada kegiatan militer yang dilakukan dalam bentuk penindakan adalah pengiriman misi bantuan pasukan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang hanya 1.000 sampai 2.000 personel per tahun. Itu pun harus diperebutkan oleh 12 Kodam. "Kalau mau jujur, senjata tentara sekarang ini cuma celurit dan cangkul," ujarnya.

    Kegiatan lainnya, lanjut dia, TNI lebih banyak difungsikan untuk pasukan bantuan penanggulangan bencana, seperti saat gempa bumi di Padang beberapa waktu lalu. "Giliran nembak teroris, anak Brimob yang turun. Giliran bencana kita yang turun," ujarnya.

    Menurutnya menjadi pasukan bantuan bencana bukan jiwa asli tentara. "Intinya saya pengen perang, biar ada yang bisa saya ceritakan ke anak saya," tuturnya.

    Niat itu, menurutnya, ada di dalam jiwa seluruh personel TNI.

    Siapakah Tentara?
    Tentara di Indonesia memiliki sejarah panjang. TNI -sebutan tentara Indonesia- terdiri dari 3 angkatan, yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara, yang dipimpin oleh seorang Panglima TNI. Setiap angkatan, dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan.

    Ketetapan MPR nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri serta Ketetapan MPR nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran Polri diteken oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 19 Oktober 2004.

    Momen pemisahan itulah yang menjadi pembeda antara tentara dulu dan sekarang. Semasa Orde Baru, tentara memegang dwifungsi ABRI (sebutan TNI kala itu). Dwifungsi adalah suatu doktrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan, seperti menteri, gubernur, dan bupati. Bahkan, pada masa Soeharto, secara organisatoris, tentara diwadahi dalam parlemen sebagai Fraksi ABRI.

    Saat ini, TNI bernaung di bawah UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pasal 1 ayat (21) UU TNI menyebutkan, tentara adalah warga negara yang dipersiapkan, dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata.

    UU itu juga menegaskan tentang 4 jati diri TNI dalam Pasal 2. Pertama, tentara rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga negara Indonesia tentara pejuang; kedua, tentara yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya; ketiga, tentara nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama; keempat, tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

    Kisah Roni di atas berkaitan dengan 'lapangan kerja' TNI. Menurut UU TNI, tugas pokok TNI terbagi dua: operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang.

    Operasi militer selain perang dirinci menjadi 14 poin, yaitu, mengatasi gerakan separatis bersenjata; mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme; mengamankan wilayah perbatasan; mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya; memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; membantu tugas pemerintahan di daerah; membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang; membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.

    Transisi Belum Tuntas
    Pengamat militer dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI Jaleswari Pramodhwardhani menilai, fenomena tentara resah di barak karena jarang dilibatkan dalam penindakan merupakan refleksi dari masa transisi peran TNI yang belum tuntas. "Harusnya secara institusional itu tidak terjadi," kata Jaleswari kepada primaironline.com, Minggu (18/4).

    Transisi yang belum tuntas itu dimulai dari pemberlakuan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mendudukkan posisi TNI dalam wilayah yang profesional. "Dari situlah, yang dulunya tentara aktif di semua sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, saat ini posisi itu dibatasi," katanya.

    Kendati demikian, ia mengatakan, terlalu besar risikonya, jika hasil yang telah dicapai dengan mengembalikan TNI pada posisinya sebagai tentara profesional, harus diikuti dengan tuntutan prajurit untuk hanya berperang.

    Ia menegaskan, saat ini tugas militer hanya tiga, yaitu berlatih, berlatih dan terus berlatih. "Karena sampai saat ini militer kita belum sepenuhnya terlatih," ujarnya.

    Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen menilai penyataan personel TNI yang merasa kurang berperan dalam kurun waktu enam bulan terakhir hanya merupakan suara oknum.

    "Kalau ada yang melaporkan itu keluar institusi, itu bukan prajurit. Itu tentara linglung. Kalau prajurit itu taat undang-undang," ujarnya kepada primaironline.com, Minggu (18/4).

    Ia menambahkan, keberadaan tentara pada era globalisasi saat ini bukan untuk berperang. "Justru tentara itu ada untuk meniadakan perang. Saat ini tentara adalah bagian dari elemen kerjasama antara bangsa," ujarnya.

    Berdasarkan penelusuran primaironline.com, data per 2009, jumlah personel TNI sebanyak 432.129 personel, terdiri dari TNI AD 328.517, TNI AL 74.963, dan TNI AU 34.930.(aka)

    sumber : http://www.suaranews.com/2010/04/ketika-tentara-menertawakan-aksi-densus.html

    No comments:

    Post a Comment